(Demo)krasi
Awalnya saya berpikir demo itu adalah tindakan yang sia-sia, ngapain panas-panasan di jalan? Ngapain teriak-teriak? Mending belajar aja di kelas atau baca buku.
Pemikiran seperti itu ternyata keliru, ada hal besar yang bisa dicapai dengan berdemo.
September 24, terjadi aksi besar-besaran di ibukota, bahkan di berbagai daerah pun turut melakukan aksi meneriakkan suara batin aspirasi.
Di sinilah saya mulai paham,
Saya pernah bertemu dengan seorang Bapak, pertanyaan pertama yang ia tanyakan adalah,
"Kenapa kamu ga ikut aksi?"
"(saya hanya tersenyum)"
"Bapak mau cerita, saat 1998, mahasiswa melakukan demo besar-besaran di Jakarta, Bapak salut sama mahasiswa dengan semangat melantangkan aspirasinya hingga didengar oleh wakil rakyat."
"Orang seperti saya ini hanya rakyat biasa, kadang harus menelan mentah-mentah kebijakan pemerintah. Mau protes, tapi seolah merasa tidak punya tempat. Katanya mereka wakil rakyat, tapi saya bingung keberpihakan mereka ke mana."
"Mahasiswa itu luar biasa, mereka menyuarakan aspirasi dengan data dan kajian yang jelas dan rinci. Mereka nggak mungkin turun ke jalanan, kalo nggak ada yang salah dengan pemerintahan."
Mendengar pembicaraan tersebut, pandangan saya mengenai demo berubah. Ternyata demo tidak hanya teriak-teriak histeris dan anarkis. Ada banyak kepercayaan rakyat yang dititipkan kepada mahasiswa. Mereka mengantongi suara-suara rakyat untuk disampaikan kepada wakilnya.
Mahasiswa itu penggerak perubahan sebuah bangsa. Berani maju melawan ketidakadilan. Mahasiswa itu pengamat dan pemerhati, memantau dan menentang ketidakberesan dalam pemerintahan.
Komentar
Posting Komentar